Sabtu, 13 Oktober 2012

You?

Kata ayah, aku ini sudah dijodohkan dengan putra salah satu teman bisnisnya sejak aku masih kecil dulu. Heran, di jaman yang serba modern ini masih ada saja cerita-cerita duplikatan Siti Nurbaya. Masih ada saja orangtua yang memilihkan jodoh untuk anak-anaknya. Memangnya kami tidak bisa mencari jodoh kami sendiri apa?
Lagipula, kenapa ayah baru mengatakannya sekarang? Bukan dari dulu, jauh-jauh hari sebelum aku mengenal dia? Kenapa di saat dia kembali lagi di hidupku? Tujuh tahun memang bukan waktu yang tak sebentar tapi dengan waktu yang tak sebentar itu bahkan belum mampu menghapus perasaan yang kupendam padanya sejak dulu.

Sejujurnya, aku ingin menyerah. Membiarkan jantungku melompat-lompat terhadap kehadiran orang lain. Membiarkan diriku merasakan letupan-letupan kecil dari api cinta yang berkobar karena laki-laki lain.
Tujuh tahun aku mencoba. Tujuh tahun aku mencari lelaki yang bisa membuatku merasakan debaran-debaran halus saat bertatapan mata. Tujuh tahun aku menunggu seseorang yang bisa melepaskanku dari jerat pesonanya. Dan tujuh tahun hidupku seakan sia-sia saat dia kembali. Saat waktu mempertemukan kami lagi. Saat ternyata, desiran halus di dadaku masih terasa begitu nyaman kala tatapan mata kami tak sengaja bertemu pandang. Ada sesuatu di dalam rongga dadaku yang bergetar saat melihat senyum canggungnya. Dan saat itu juga aku sadar, seperti dihempaskan dari langit ke tujuh. Bahwa hati ini masih begitu mencintainya.

Ayah, apa aku bisa merasakan apa yang kurasakan saat bersamanya terhadap lelaki pilihan ayah? Bagaimana jika aku tak bisa? Bagaimana jika aku tak bahagia?


"Hei cengeng! Berhentilah menangis dan cepatlah pulang ke rumah, anak manja!"
Kuangkat kepalaku untuk memelototi orang yang dengan seenak jidatnya memanggilku dengan sebutan cengeng dan anak manja!
Tapi tunggu dulu!
Dengan pandangan yang agak buram bekas lelehan airmata, aku seperti mengenali senyuman itu?
Arrghhh.. Kurang ajar!!
Cepat-cepat kuhapus sisa airmata agar aku bisa melihat wajahnya lebih jelas. Dan aha, itu memang dia. Dia yang dulu. Senyumnya. Matanya. Hidungnya. Pipi tirusnya...

"Sudah berapa kali kubilang? Jangan pernah menemuiku lagi!" ucapku dengan nada suara yang meninggi
Dia terkekeh, mendudukkan tubuhnya tepat di sampingku.
"Geer. Ini cuma kebetulan. Siapa juga yang mau menemui gadis yang sebentar lagi akan jadi istri orang?"

Huh?
Kenapa rasanya sakit sekali di dalam sini? Aku tau kalau dia memang tidak pernah mencintaiku. Tapi bisakah memperlakukanku dengan lebih baik lagi? Aku hanya ingin merasakan apa itu kebahagiaan. Atau jangan-jangan, aku memang tidak boleh bahagia?

"Sudahlah. Aku mau pulang."
Kuambil tas cangklong cokelat tua dan cardigan hitam yang kuletakkan di sisi lain bangku taman yang kutempati. Tapi,
"Akkhh.."
Sial! Aku lupa, tadi sewaktu turun dari bis, kaki kananku tergelincir. Makanya aku beristirahat dulu di sini. Tak kusangka rasa sakitnya belum hilang juga.
"Kenapa?"
Rasanya ingin menangis. Apalagi saat mendengar suaranya. Sudah bisa kupastikan bahwa wajah tampannya itu kini tengah mengejekku. Kenapa sih aku harus mencintai orang yang membenciku?
"Tidak apa-apa." jawabku sok kuat sambil pelan-pelan mengatur langkah kakiku
"Kakimu sakit?" tanyanya lagi
"Hanya tergelincir."

Dan tiba-tiba, dia sudah menghadang jalanku. Aku mendongak, menatap ke dalam mata kelamnya yang tajam. Kali ini tak kutemui seringai jahil di bibirnya. Ada apa? Kenapa kelihatannya dia jadi serius begini?
"Apa?" tanyaku ketika dia memutar tubuhnya hingga memunggungiku dan berjongkok di hadapanku
"Naiklah dulu! Rumahmu dekat sinikan?" katanya sambil menepuk-nepuk pundaknya

Apa?
Aku disuruh naik ke punggungnya? Maksudku, dia ingin menggendongku di belakang begitu?
Dia tidak sedang sakit kan? Atau jangan-jangan dia ini sedang mabuk makanya jadi ngawur begini?
Tanpa pikir panjang, aku langsung berlari walau mesti tertatih dan nyeri luar biasa di kakiku. Tapi masa bodoh! Daripada diantar pulang oleh orang mabuk? Menyeramkan!

"Hei, kenapa lari?"
Aku melotot ngeri saat tangan kananku ditarik dari belakang. Ya Tuhan, apa lagi ini? Tolong selamatkan aku!!
"Jangan mendekat! Biarkan aku pulang sendiri! Aku sudah baik-baik saja."
"Kau kenapa sih? Aneh! Harusnya kau itu senang karena pemuda yang sudah sejak lama kau cintai ini mau menggendongmu sampai rumah."
Aku menoleh dan mendapati seringaian itu lagi.
"Kau mabuk?" kataku takut-takut
"Sejak kapan aku suka minum minuman keras, hah?"
"Tapi kenapa kau aneh sekali?"
"Aku tidak aneh. Apa maksudmu?"
"Kenapa kau tiba-tiba jadi baik padaku?"
Kulihat, dia mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi. "Aku memang baik kok. Memangnya kau baru tau? Eh, tapi bukannya waktu itu aku juga pernah mengantarmu sampai rumah ya?"
"Yang dulu itu pemaksaan kan?"
Aku ingat betul kejadian waktu dia memaksaku untuk pulang bersamanya, mendorong tubuhku untuk masuk ke dalam mobilnya.
Dia tertawa. Lagi-lagi memamerkan kedua lesung di tulang pipinya.
"Ayolah! Hari sudah hampir malam. Kau tidak mau ada pri-pria jahat yang menggodamu bila kau tetap di sini kan?"
Kuakui, kali ini pernyataannya barusan cukup mempan untuk membuatku takut. Dengan sedikit rasa malu, aku mengangguk.
"Baiklah." kataku

Dan dia langsung tersenyum sebelum menurunkan tubuhnya. Pelan-pelan, aku mempossisikan tubuhku di belakangnya. Mengaitkan kedua kakiku di pinggangnya dan tak lupa memeluk lehernya dari belakang. Sesekali menyandarkan kepalaku di bahunya. Rasanya sungguh nyaman walau jantung ini seperti ingin melompat keluar. Semoga saja dia tidak mendengar detakannya yang bertaluh-taluh.


Ayah, kalau seandainya laki-laki ini membalas cintaku, apa aku boleh menikah dengannya? Sebab aku begitu mencintainya. Aku merasa bahagia walau hanya dengan mengetahui keadaannya yang baik-baik saja. Sebab aku tak tau dengan cara apa aku bisa menghapus rasa cinta ini. Tolong aku ayah. Tolong biarkan aku begini sebentar lagi...

"Hei, ternyata tubuhmu berat juga ya? Kasihan sekali lelaki yang akan jadi suamimu nanti kalau kau meminta digendong olehnya. Rasanya seperti menggendong anak gajah, kau tau? Hahaaahaaa.."

Diamlah sebentar saja. Dasar lelaki tak punya hati! Tak bisakah kau membiarkanku bahagia sebantar saja? Karena mungkin ini kali terakhir aku bisa bersamamu wahai lelaki angkuh...

***











Tidak ada komentar:

Posting Komentar