Sabtu, 08 September 2012

The Series of Wedding Stories [First Story, First Imagination, First Hope - YOUR WEDDING]

Kali ini datang dengan membawa serangkaian kisah tentang pernikahan. oke, ini cerita pertama. Firts story...


Judul: Your Wedding
by: Nurul Hikmah 



Suatu hari, aku pernah berjanji. Pada diriku sendiri. Tanpe diketahui orang lain, tentu saja. Hanya aku dan Tuhan yang tau, dan aku akan berusaha untuk menepati janji itu. Janji yang kuutarakan bertahun-tahun lalu.
“Lu,”

Seseorang berhasil menerobos pintu kamarku tanpa ketukan terlebih dahulu. Seorang laki-laki yang memakai  jas abu-abu tua melangkah dan mendekatiku.
Aku menoleh, dan dia tersenyum. “Sudah siap?” tanyanya.
Aku  mengerling sedikit pada kaca besar yang ada di meja riasku. Gaun biru dongker sebawah lutut yang kukenakan tampak kontras dengan tatanan rambutku yang dijepit ke atas, menyisakan helaian-helaian rambut yang berjatuhan di tengkuk. Polesan lipstick warna bibir terkesan begitu natural dengan sapuan eyeshadow warna biru muda dan blush on warna pink pucat. Aku tampak sedikit lebih cantik malam ini. Dan oh ya, jangan lupakan soft lens hitam yang kupakai khusus hanya untuk mala mini sebagai pengganti kacamata minus 3 ku.
“Cantik!” gumam laki-laki di sampingku.
Aku menoleh dan oh..
Aku hampir melupakan kalau ada orang lain di kamar ini. Dia Rudy, saudara kembarku yang lahir beberapa menit sebelum aku.
“Ayo berangkat!” ajakku seraya menarik lengannya.
Rudy tak bergeming. “Pakai dulu sepatumu!” katanya
Aku tertawa mendengarnya. Cepat-cepat kuambil high heels hitamku dan menggamit lengan Rudy, membawanya keluar.
***
Mobil yang dikemudikan Rudy membawa kami ke sebuah gedung yang bersinar sangat terang malam ini. Banyak orang yang berlalu lalang di sekitar pintu masuknya. Mewah. Itulah kesan pertamaku setelah mengamati keadaan sekitar. Lampu taman menyala terang di sisi kiri kanan jalan yang menuju pintu gedung. Ada beberapa balon berwarna pink di sudut kiri kanan pintu.
Rudy menggenggam tanganku yang bahkan baru aku sadari kalau tanganku begitu dingin dan sedikit gemetar. Tangan satunya merambat naik ke atas kepalaku, mengelus lembut rambutku.
“Tenanglah sedikit dan jangan menangis!” kata Rudy, mengingatkan
Aku hanya diam, mencoba untuk menetralisir perasaanku yang kacau balau hanya karena baru melihat pemandangan di luar gedung. Apalagi kalau di dalam?
Sekuat mungkin kutekan rasa sesak yang membuat mataku pedih. Aku harus bisa menepati janji itu! Dan sekaranglah waktunya.
“Kita turun sekarang?” Tanya Rudy yang sukses membuyarkan lamunanku tentang janji itu.
Aku menoleh cepat dan menatapnya. “Bawa aku pulang kalau aku sudah merasa sesak.”
“Oke.”
Setelah itu kami membuka pintu mobil dan melangkah menuju pintu utama gedung. Rudy menggandeng lenganku seperti pasangan lainnya dan aku hanya terkikik geli menerima perlakuannya. Kami jadi seperti pasangan kekasih. Rudy melotot geram begitu menyadari tawaku. Aku membalasnya dengan senyum lebar.
Hal pertama yang menyambut kami adalah balon pink, seperti yang aku ceritakan tadi, menggantung di atas pintu yang terbuka lebar. Niatku untuk menyentuh balon yang paling bisa kuraih langsung terhentikan oleh cubitan gemas di lenganku. Aku mendengus sebal dan karpet merah yang terhampar di hadapanku berhasil mengalihkan perhatianku. Karpet merah itu terbentang panjang sepanjang jalan lurus ke depan dan akan membawa kita pada sang empunya acara. Kami mengikuti aturan mainnya. Melangkah lurus hingga bertemu dengan seorang perempuan berkebaya putih gading dan lelaki di sebelahnya yang mengenakan jas dengan warna senada. Harus kuakui, mereka tampak sangat serasi. Wanita di sampingnya benar-benar cantik rupawan dan apalah artinya aku yang tampak sangat biasa di pesta semegah ini. Aku bagai itik buruk rupa yang ada di tengah-tengah peri khayangan. Sama sekali berbeda. Dan kuakui, hatiku sedikit nyeri melihat senyuman perempuan cantik itu yang dibalas dengan tawa si lelaki. Tapi aku harus kuat. Agar bisa menepati janji itu sepenuhnya.
Rudy masih mengeratkan pegangannya pada lenganku dan aku membalasnya dengan anggukan dan sedikit tambahan di dalam hati, “Semuanya akan berakhir  di sini, hari ini.”
Aku mengikuti langkah Rudy dengan mantap. Mataku tertuju pada dua orang di depan sana. Tak lupa, senyum terus kukembangkan di ssudut bibirku. Saat langkahku semakin dekat, aku merasa semakin bisa melihat ekspresi di wajahnya. Sangat bahagia. Menyilaukan!
“Akhirnya kalian datang juga!” seru si lelaki, menarik Rudy ke dalam pelukannya
“Selamat ya, Put! Istri lo cantik banget!” kudengar Rudy berbisik agak kencang di sela-sela pelukannya
“Thanks, Rud.” Balasnya
Aku mendekat, menjabat tangan si wanita itu lebih dulu dan mengecup kedua pipinya pelan sambil berkata, “Selamat ya, sayang! Akhirnya aku bisa lihat kalian menikah. Semoga langgeng sampe kakek nenek dan cepet-cepet dapet momongan ya!” terakhir, ku kedipkan sebelah mataku pada Rara, si pengantin wanita
“Amin. Makasih banyak ya, Lu. Semoga kamu juga cepet-cepet nyusul kami.”
Aku hanya tertawa mendengar balasannya. Dan kami -aku dan Rudy- berpindah tempat. Kini gentian Rudy yang menyalami Rara sementara aku berdiri tepat di depan si pengantin pria. Jantungku berdetak jauh lebih cepat saat kugerakkan tangan kananku untuk menyalaminya. Putra, laki-laki itu malah menarikku ke dalam pelukannya. Sama seperti yang dilakukannya pada Rudy beberapa menit yang lalu. Aku merasa sesak dan wajahku memanas. Cepat-cepat kulepas pelukannya sebelum tangisku pecah.
“Selamat ya! Tapi lo curang, Put!”
Putra, si mata agak sepit itu mengernyit heran. “Kenapa, Lu?”
“Lo ngeduluin gue sama Rudy!” kataku merajuk dan setelah itu aku tertawa. Benar-benar tertawa. Menertawai nasibku.
“Ya ampun! Gue kirain apa? Makanya cepet cari pacar biar gue bisa lihat lo nikah!”
“Dasar!” umpatku agak kesal
“Tapi janji ya?” Putra menghentikan aksi pura-pura ngambekku
“Janji apa?”
“Lo bakal undang gue sama Rara kalo lo nikah nanti.”
“Iya, bawel!” sahutku agak gemas
Putra mengulurkan kelingking kanannya padaku. Aku memandangnya heran.
“Ayo janji!” ucapnya
Kugelengkan kepalaku berkali-kali dan menatap rara sebelum mengaitkan kelingkingku pada Putra.
“Tuh lihat, Ra! Kelakuannya masih sama kayak anak kecil!” kataku pada Rara
Rara tersenyum. “Putra memang begitu, apalagi sama kamu yang notabene sebagai sahabatnya sejak bertahun-tahun lalu.”
Sahabat..
Ya, kata itu yang mengikat keakrabanku dengan Putra. Kata yang mampu membuatku bahagia karena selalu berada di dekatnya sekaligus mampu membuatku benci dengan gelar itu. Aku benci bila harus mengakui bahwa aku mencintainya diam-diam. Aku benci saat Putra menceritakan perempuan-perempuan lain dalam pandangannya sebagai laki-laki dan selalu menilaiku dengan pandangan sahabat, teman dekat. Dan aku benci saat Putra menolakku beberapa tahun yang lalu.
Aku bukan membencinya. Tapi aku benci pada diriku sendiri. Aku benci pada diriku sendiri yang tidak mampu melupakannya meskipun dia sudah menolakku. Aku sama sekali tidak bisa membencinya meskipun hatiku sakit saat itu. Aku tau, aku takkan mungkin bisa memaksakan perasaan ini. Dan aku membiarkan semuanya mengalir, dengan gelar sahabat yang kudapat darinya. Karena aku yakin aku mampu menekan rasa itu.
Dan hari ini, aku telah berhasil menpati janjiku nertahun-tahun lalu, bahkan sebelum aku menyatakan perasaanku padanya. Aku berhasil mengatasi rasa sakit ini sekaligus akhir dari perjuanganku yang terus menantinya yang mungkin bisa merubah perasannya itu. Aku menang dan kalah sekaligus. Menyedihkan.
“Ck,”
Kudengar ada suara orang berdecak kesal sebelum aku sempat menghindar dari seseorang di depanku yang oleng karena didorong temannya. Langkahku mundur beberapa senti tapi untungnya aku tidak jatuh. Aku mendongak untuk melihat siapa orang yang tadi menabrakku dan sangat kaget begitu kedua mata kami bertemu.
“Lulu!” orang itu memanggilku lebih dulu
Aku mengerjap gugup. Orang ini..
“Pandhie?” ucapku tak percaya
Laki-laki itu tertawa. “Sejak kapan lo lupa sama gue?”
Ah.. musuh besarku waktu sekolah dulu. Tapi aneh juga menyebutnya sebagai musuh besar karena kami memang tidak musuhan. Dia lebih senang menjahili aku hingga aku selalu marah dan merasa tidak nyaman bila ada di dekatnya.
“Lo udah gede ya sekarang?” tanyanya yang lebih tepat disebut pernyataan
Tentu saja! Aku sudah lebih besar sekarang karena kita tidak bertemu selama hampir..8 tahun! Pasti sudah banyak yang berubah dalam waktu selama itu kan? Dan dia, Pandhie terlihat sangat tinggi dibandingkan waktu sekolah dulu. Tinggiku tidak sampai sebahunya!
“Dan cantik.” Lanjutnya lagi
Apa katanya tadi? Apa aku tidak salah dengar?
Ya ampun! Wajahku pasti sudah memerah saking malunya. Yang ada aku malah celingukan mencari Rudy.
“Dateng sama siapa?” tanyanya
“Rudy.”
“Masih nempel aja ya sama kembaran lo itu?”
Aku cuma tersenyum menanggapinya. Tidak ingin berurusan dengan orang ini lebih jauh. Untungnya Rudy datang tak lama setelah aku dan Pandhie terdiam canggung.
“Pandhie! Enggak nyangka bisa ketemu lo di sini!” Rudy melebarkan senyumnya seraya menepuk-nepuk bahu Pandhie
“Ya, karena acaranya Putra kita bisa ketemu lagi.” Jawabnya dan, ya ampun! Pandhie melirik ke arahku. Apa maksudnya?
Aku bersembunyi di belakang Rudy, menarik-narik jasnya tapi Rudy tidak sadar. Aku mau pulang. Bukannya kenapa, tapi karena aku merasa enggan untuk terus berada di dalam kumpulan orang-orang yang kukenal bersama Putra dulu. Aku benci mengingat hal-hal manis seperti dulu lagi. Dan itu bisa semakin membuatku merindukan masa-masa dulu. Masa dimana hanya ada aku dan Putra yang terikat dengan sebuah kekuatan. Sahabat.
Tanpa sadar, pandanganku mengarah pada Rara dan Putra. Mereka sedang bersenda gurau nampaknya. Aku tersenyum kecut, mengimbangi rasa pedih yang menggerogoti hatiku pelan-pelan. Tapi sebisa mungkin aku ingin merelakannya. Aku memang harus bisa mengikhlaskannya.
“Kenapa lo selalu natap Putra sih, Lu?”
Aku menoleh. Tak ada Rudy di hadapanku, hanya ada Pandhie.
“Kenapa lo gak mau natap orang lain selain Putra?”
Aku makin bingung dengan pertanyaannya. Aku tidak mengerti. Sungguh.
“Apa maksudnya?”
“Belajarlah untuk menatap gue, Lu. Jangan Putra lagi!”
Pandhie seperti memberiku sebuah teka-teki. Hhh…
Aku bergerak cepat menarik tangan Rudy dan meminta untuk diantarkan pulang. Tapi Rudy menolak dan menyarankan aku untuk pulang dengan Pandhie. Karena kata Rudy, Pandhie sudah menyukaiku sejak sekolah dulu!!
***
~ Tuhan, jika dia memang bukan jodohku, ijinkanlah aku untuk melihat dan merelakannya menikah dengan orang lain. Aku janji tidak akan menangis jika hari itu tiba~
*FINISH*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar