JUNI 2004
Dear my first love,
Dear my first love,
Saat kamu mulai membaca surat ini,
mungkin kamu sudah menikah. Atau malah aku yang sudah lebiih dulu jadi ibu
rumah tangga?! Hh.. entahlah. Yang pasti usia kita sudah bukan belasan lagi.
Bukan sepasang sahabat yang mendapat julukan ‘tikus dan kucing’ karena meskipun
kita bersahabat tapi kita selalu bertengkar bila bertemu. Terkadang aku juga
heran dengan kelakuan kita itu. Mungkin karena faktor usia kita yang
mempengaruhi kita. Masih sangat kekanakan. Yang jelas, saat menulis surat ini
aku sudah berumur 20 tahun. Bukan belasan lagi dan sudah jadi mahasiswi
semester 6. Apa kau juga sama?
Aku dengar kamu masuk universitas
paling terkenal di Jakarta juga Indonesia? Hebat ya! Padahal dulu kita selalu
belajar bersama. Tapi kenapa aku tidak tembus ujian masuk ke universitas yang
sama denganmu ya?
Oke. Mungkin aku kurang beruntung atau aku tidak sepintar
kamu. Aku akui itu. Tapi ya sudahlah, mungkin sudah takdir kalau kita –lebih
tepatnya aku- tidak berjodoh untuk satu kampus denganmu. Rasanya sepi,
mengingat hari-hariku yang selalu dipenuhi oleh suara dan tingkah lakumu yang
membuatku ketergantungan. Harus kuakui hal ini meskipun tak akan berpengaruh
apa-apa terhadap kehidupan kita. Tapi harus kuakui untuk menghilangkan rasa
sesak yang memenuhi rongga dadaku belakangan ini.
Harus dimulai darimana ya? Aku juga
bingung. Yang jelas, aku merasa kalau aku sudah jatuh cinta padamu. Jangan
tertawa atau bertanya sejak kapan aku mulai menyukaimu! Karena aku sendiri tidak
tau jawabannya. Tapi yang pasti, aku sudah terbiasa melewati hari-hari
denganmu. Rasanya menyenangkan. Dan kurasa, kamu bagai candu bagiku yang bisa
membuatku ketergantungan. Rasanya sulit untuk tidak melihatmu sehari saja atau
tidak mendengar suaramu sekali saja.
Aku hanya ingin mengakuinya saja. Sama sekali tidak
berharap bahwa kau juga punya rasa yang sama terhadapku. Atau membalas
perasaanku. Tapi tenang saja, saat ini aku sedang berusaha mencari penawar dari
candu yang mengaliri darahku. Semoga saja aku cepat mendapatkannya. Dan kuharap
kau juga bisa menemukan seorang wanita yang benar-benar kau cintai. Jangan suka
memutuskan hubungan secara sepihak dengan seenaknya! Nanti kamu bisa kena karma!
Aku bercanda, hehehe..
Oia, jangan katakan pada istrimu
(kalau kau sudah memiliki istri saat membaca ini) tentang surat ini. Aku tidak
mau membuat istrimu cemas. Oke?
Sampai jumpa kawan!
With
love,
Neichrehl
L.A
~
SEPTEMBER 2011
Putra
menghembuskan napasnya kuat-kuat sambil tersenyum. Matanya sibuk memandangi
seorang perempuan yang sedang sibuk dengan celemek dan bahan-bahan memasaknya.
Sedangkan tangannya bergerak untuk melipat kertas yang sudah cukup usang berwarna
kekuningan yang berada di dalam genggamannya. Merasa diperhatikan, perempuan
itu menoleh ke belakang. Sementara Putra masih sibuk dengan acara lipat melipat
kertas.
“Apa itu, Put?” tanyanya
Cepat-cepat Putra memasukkan
lipatan kertas itu ke saku kemejanya.
“Bukan apa-apa.” jawabnya santai
dan kembali menghirup cangkir kopinya yang tinggal setengah
“Surat dari pacarmu? Atau mantan
pacarmu?” selidik si wanita lagi
Putra menggeleng. “Bukan keduanya.
“Tapi benar kan kalau itu surat?”
“Iya. Tapi sayangnya kau tidak boleh
tau siapa nama pengirimnya. Oh, bukan! Surat ini tidak pernah dikirim. Aku
menemukannya 3 hari lalu saat beres-beres kamar.”
“Kenapa bisa nyangkut di kamarmu?”
Putra mengerutkan keningnya
sebentar lalu tertawa kemudian.
“Ini kutemukan di dalam kamarmu saat
beres-beres sebelum kita pindah ke sini.”
“Hah?” kali ini si perempuan
melotot dan bergerak cepat menghampiri Putra
“Berarti itu punyaku dong?”
tanyanya dengan wajah polos
Putra menyeringai jahil. “Hm…
Bagaimana ya?”
“Coba lihat! Jangan curi
barang-barangku!”
“No way! Tadinya ini memang punyamu
tapi sekarang sudah jadi milikku. Jadi jangan coba-coba meminta barang yang
sudah kau berikan padaku!”
“Sepertinya aku tidak punya
barang-barang yang sengaja kusiapkan untuk kuberikan padamu?” sanggahnya
Putra berpikir sebentar sebelum
akhirnya mengeluarkan surat itu dari saku kemejanya.
“Lalu ini? Ini warisan untukku
karena di dalamnya terdapat pengakuan cinta darimu 7 tahun yang lalu!”
Si wanita mencoba mengingat-ingat
tentang surat 7 tahun yang lalu. Dan ingatannya terhenti saat Putra menyodorkan
lipatan kertas itu. Membacanya sekilas lalu muncul rona merah di kedua pipinya
dan cepat-cepat menutup lipatan itu.
“I-ini surat yang tidak jadi
kukirimkan padamu!” jawabnya gugup
“Bukan apa-apa. Hanya iseng.” tambahnya
“Oh ya?” goda Putra
“Tapi berhubung aku sudah
menemukannya, jadi boleh dong kalau aku menjawab pertanyaan-pertanyaanmu?”
“Terserahlah.” Si wanita tampak
cuek dan kembali lagi pada kegiatannya di dapur
Putra duduk di salah satu bangku di
dalam dapur dan mulai berbicara.
“Oke. Saat membaca surat ini umurku
memang bukan belasan lagi tapi sudah 27 menjelang 28 tahun. Aku sudah menikah,
baru saja. Dan sepertinya, si penulis surat juga sudah jadi seorang ibu rumah
tangga. Ya kan, Lu?”
Orang yang diajak bicara hanya
menjawab dengan satu deheman.
“Aku memang kuliah di salah satu
universitas terkenal. Tapi kenapa kamu bisa tidak lulus ujian masuknya? Karena
kamu bodoh!”
Lulu, si wanita yang sedang
berkutat dengan masakannya langsung menoleh dan melemparkan sendok kecil tepat
mengenai kepala Putra.
“Kamu tidak berubah juga ya, bahkan
setelah kita menikah!” kata Putra sambil memungut si sendok malang
“Suruh siapa bilang kalau aku
bodoh?”
“Lho, memang begitu kan? Kamu
sendiri juga mengakuinya di surat ini.”
“Sudahlah. Aku sedang malas
berdebat kali ini.”
Putra terkekeh pelan, merasa
menang.
“Oh ya? Apa aku benar-benar candu
bagimu?” godanya
“Maaf saja ya. Surat itu kutulis
dalam keadaan tidak sadar.”
“Aku mengerti kalau maksudmu adalah
saat kau sedang rindu-rindunya padaku.” dan terkekeh lagi
Lulu tak menyahuti omongan Putra.
Dia tetap konsentrasi pada masakannya.
“Tapi, masa’ kamu tidak tau kapan
kau mulai menyukaiku? Aku saja tau kok kalau aku mulai menyukaimu sejak pertam
kali melihatmu. Untungnya kita bisa satu kelas dan jadi sahabat.”
Diam-diam Lulu merasa panas
merambati wajah dan lehernya. Mendengar pengakuan Putra barusan membuat
jantungnya mendadak berdetak lebih cepat. Padahal dia sudah membiasakan diri
dengan kehadiran Putra di sampingnya setelah mereka menikah bulan lalu. Tapi
tetap saja Lulu belum terbiasa melihat Putra yang tidur di sampingnya atau
menemukan Putra yang duduk manis di meja makan, menunggu makanannya siap. Lulu
terlalu kaget saat cinta pertamanya itu melamarnya beberapa bulan lalu beserta
pengakuan dari Putra tentang perasaannya selama ini. Dan entahlah, Lulu
tampaknya percaya-percaya saja dengan pengakuan Putra. Juga untungnya, Lulu
masih menyimpan rasa cinta pada sahabatnya itu.
“Dan siapa yang sudah
berani-beraninya menjadi obat penawar saat kita tak bertemu? Si anak keturunan
Jepang itu?” ada nada kesal yang teramat sangat saat Putra melontarkan
kalimatnya barusan. Cemburu mungkin?
Lulu menoleh. Wajahnya sudah merah
padam menahan malu juga kesal terhadap orang yang kini ada di depannya.
“Jangan bawa-bawa dia!” omel Lulu
“Kenapa? Kamu masih suka padanya?”
nada kesal itu semakin jelas terdengar dari alunan suara Putra
“Karena dia jauh lebih tampan dan
tidak pernah membuatku kesal sepertimu!”
“Huh! Tampan apanya? Kalau dia
tampan, seharusnya dia bisa mencuri hati perempuan yang jauh lebih cantik
darimu!”
Kini Lulu melotot pada Putra yang
sedang cengengesan.
“Dan kurasa kamu kena karma dengan
menikahi gadis jelek seperti aku karena dulu kamu sering mempermainkan
peerasaan perempuan!”
Raut wajah Putra dengan cepat
berganti. Putra tersenyum lembut. “Menikahimu adalah sebuah anugerah terindah
dalam hidupku. Bukan karma.”
Lulu merona lagi. Kali ini karena
tersanjung atas kata-kata Putra. Dan sikap Putra yang suka berubah-ubah ini
yang kadang membuatnya kesal. Bagaimana Putra bisa bersikap manis setelah
mengejeknya barusan? Hh.. Lulu merasa kalau Putra itu aneh!
“Tapi rupanya aku sudah melanggar
larangan si penulis surat untuk tidak memberitaukan surat itu pada istriku. Apa
istriku cemas ya?”
Lulu tersenyum, luluh dengan sikap
Putra lalu menyentuh pipi kiri Putra dengan jari telunjuknya. “Sepertinya
tidak.”
Putra makin melebarkan senyumannya
dan menarik Lulu ke dalam pelukannya. Tapi cepat-cepat Lulu melepasnya.
“Aku tidak mau masakanku tidak bisa
dimakan hanya kerana tingkah lakumu itu!” omel Lulu, menjawab tatapan protes
dari Putra
“Kenapa sih kita tidak bisa
seromantis pasangan lainnya?” Putra memanyunkan bibirnya, tanda dia sedang
merajuk
Lulu membalikkan tubuhnya dengan
malas.
“Tapi sekarang bukan saat yang
tepat untuk menunjukkan sisi romantismu! Kau harus bisa baca keadaan!” jawab
Lulu sambil mengangkat masakannya yang sudah matang dari atas kompor
~~~
Dear Neichrehl Lucky Andreata,
Mungkin aku memang ditakdirkan
bukan untuk menjadi laki-laki yang romantis. Sulit bagiku untuk mengucapkan
kata-kata romantis atau melakukan hal-hal romantis. Kau boleh sebut aku tidak
peka, bodoh, egois atau apalah sesukamu itu. Aku tak akan marah.
Tapi ada beberapa hal yang harus
kau tau dariku. Aku ini pencemburu. Jadi jangan pernah katakan bahwa si anak
keturunan Jepang itu lebih tampan dariku! Kau harus mengatakan kalau akulah
yang paling tampan di antara pria-pria lain di dunia ini! Karena aku suamimu,
oke? Aku juga tipe orang yang pemalu. Apa yang kukatakan kadang berbanding
terbalik dengan apa yang kurasakan. Begitu pun kala aku sedang mengejekmu
hingga kau marah. Itu kulakukan sejak dulu untuk mengatasi rasa maluku padamu
karena aku menyukaimu. Hingga kau tak sadar bahwa diam-diam aku selalu memperhatikanmu.
Dan ah ya, aku ini senang dimanja. Karena aku anak pertama dan tidak ada orang
lain yang memanjakanku selain orangtuaku maka biarkanlah aku bermanja-manja
padamu. Jangan marah, oke?
Dan kuharap kau mau mengerti aku
untuk selamanya. Aku ingin menjalani hidup ini denganmu juga, aku ingin kau
menjadi ibu yang baik bagi anak-anakku kelak. Aku ingin punya banyak anak.
Rumah kita pasti tidak akan sesepi ini kalau kita memiliki banyak anak.
Dan tolong, jangan berhenti mencintaiku! Tetaplah hanya
menatapku seorang. Tetaplah hanya akan mencintaiku seorang.
Hm.. sepertinya sudah malam.
Tidurlah dan lihat di sampingmu! Aku sedang apa? Hahahaha
Suamimu yang tercinta,
Putra Ardianysah
Suamimu yang tercinta,
Putra Ardianysah
~
Lulu menggeleng-gelengkan kepalanya
tapi tak urung terbersit senyum kecil dari sudut bibirnya. Lulu menolehkan
kepalanya ke samping kiri seperti perintah Putra di suratnya. Mendapatai Putra
yang sedang tersenyum cerah dengan bertelanjang dada. Lulu mengerutkan
keningnya bingung.
“Cepat pakai bajumu kalau tidak mau
masuk angin!” omel Lulu
“Oh.. Ayolah, sayang! Kamu pasti
mengerti maksudku kan?” jawab Putra dengan wajah frustasi
Lulu tidak menjawab. Dan tiba-tiba
ada bunyi ‘klik’. Seketika itu juga lampu kamar padam. Dan seseorang telah
menarik tubuhnya hingga terjatuh di atas kasur kemudian menindih tubuhnya.
“Putra, tubuhmu berat!
Menyingkirlah dariku!” protes Lulu
“Penuhi dulu permintaanku agar
rumah ini tidak sepi lagi.” Jawab Putra dan kemudian tertawa
***
Hollaa temanss...
Akhirnya gue bisa nge-post cerita terakhir dari serial pernikahan. Cerpen ini sempet gue ikutin lomba Audisi Penulis Buku "Kisah Romantis" tahun 2012 lalu. Udah lama banget kan yaaa...
Tapi berhubung nggak menang, jadi boleh dong di post di blog pribadi? Kan cerpen ini hasil karya original gue. Nggak njiplak cerita mana-mana. Meskipun mungkin ada yg ngalamin hal serupa, atau ada yg bikin cerpen dengan tema serupa, tapi beneran ini tulisan pribadi gue yg dulu lagi doyan-doyannya nulis. Hahaha...
Dan ini langsung copy paste dari file yg gue kirimin dulu itu, jadi harap maklum ya kalo berantakan. Soalnya males ngetik ulang. Hehehehe...
Dan ini langsung copy paste dari file yg gue kirimin dulu itu, jadi harap maklum ya kalo berantakan. Soalnya males ngetik ulang. Hehehehe...
Tulisan ini gue persembahin buat kalian yg akhirnya nikah sama teman atau sahabat sendiri. So, enjoy it
^____^
^____^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar