Senin, 21 Januari 2019

The Series of Wedding Stories [Last Story, Last Imagination, Last Hope - HAPPY WEDDING]


JUNI 2004

Dear my first love,
Saat kamu mulai membaca surat ini, mungkin kamu sudah menikah. Atau malah aku yang sudah lebiih dulu jadi ibu rumah tangga?! Hh.. entahlah. Yang pasti usia kita sudah bukan belasan lagi. Bukan sepasang sahabat yang mendapat julukan ‘tikus dan kucing’ karena meskipun kita bersahabat tapi kita selalu bertengkar bila bertemu. Terkadang aku juga heran dengan kelakuan kita itu. Mungkin karena faktor usia kita yang mempengaruhi kita. Masih sangat kekanakan. Yang jelas, saat menulis surat ini aku sudah berumur 20 tahun. Bukan belasan lagi dan sudah jadi mahasiswi semester 6. Apa kau juga sama?


Aku dengar kamu masuk universitas paling terkenal di Jakarta juga Indonesia? Hebat ya! Padahal dulu kita selalu belajar bersama. Tapi kenapa aku tidak tembus ujian masuk ke universitas yang sama denganmu ya?
Oke. Mungkin aku kurang beruntung atau aku tidak sepintar kamu. Aku akui itu. Tapi ya sudahlah, mungkin sudah takdir kalau kita –lebih tepatnya aku- tidak berjodoh untuk satu kampus denganmu. Rasanya sepi, mengingat hari-hariku yang selalu dipenuhi oleh suara dan tingkah lakumu yang membuatku ketergantungan. Harus kuakui hal ini meskipun tak akan berpengaruh apa-apa terhadap kehidupan kita. Tapi harus kuakui untuk menghilangkan rasa sesak yang memenuhi rongga dadaku belakangan ini.

Harus dimulai darimana ya? Aku juga bingung. Yang jelas, aku merasa kalau aku sudah jatuh cinta padamu. Jangan tertawa atau bertanya sejak kapan aku mulai menyukaimu! Karena aku sendiri tidak tau jawabannya. Tapi yang pasti, aku sudah terbiasa melewati hari-hari denganmu. Rasanya menyenangkan. Dan kurasa, kamu bagai candu bagiku yang bisa membuatku ketergantungan. Rasanya sulit untuk tidak melihatmu sehari saja atau tidak mendengar suaramu sekali saja.
Aku hanya ingin mengakuinya saja. Sama sekali tidak berharap bahwa kau juga punya rasa yang sama terhadapku. Atau membalas perasaanku. Tapi tenang saja, saat ini aku sedang berusaha mencari penawar dari candu yang mengaliri darahku. Semoga saja aku cepat mendapatkannya. Dan kuharap kau juga bisa menemukan seorang wanita yang benar-benar kau cintai. Jangan suka memutuskan hubungan secara sepihak dengan seenaknya! Nanti kamu bisa kena karma! Aku bercanda, hehehe..
Oia, jangan katakan pada istrimu (kalau kau sudah memiliki istri saat membaca ini) tentang surat ini. Aku tidak mau membuat istrimu cemas. Oke?
Sampai jumpa kawan!


                                                                                                            With love,
                                                                                                            Neichrehl L.A

~

SEPTEMBER 2011

Putra menghembuskan napasnya kuat-kuat sambil tersenyum. Matanya sibuk memandangi seorang perempuan yang sedang sibuk dengan celemek dan bahan-bahan memasaknya. Sedangkan tangannya bergerak untuk melipat kertas yang sudah cukup usang berwarna kekuningan yang berada di dalam genggamannya. Merasa diperhatikan, perempuan itu menoleh ke belakang. Sementara Putra masih sibuk dengan acara lipat melipat kertas.

“Apa itu, Put?” tanyanya
Cepat-cepat Putra memasukkan lipatan kertas itu ke saku kemejanya.
“Bukan apa-apa.” jawabnya santai dan kembali menghirup cangkir kopinya yang tinggal setengah
“Surat dari pacarmu? Atau mantan pacarmu?” selidik si wanita lagi
Putra menggeleng. “Bukan keduanya.
“Tapi benar kan kalau itu surat?”
“Iya. Tapi sayangnya kau tidak boleh tau siapa nama pengirimnya. Oh, bukan! Surat ini tidak pernah dikirim. Aku menemukannya 3 hari lalu saat beres-beres kamar.”
“Kenapa bisa nyangkut di kamarmu?”
Putra mengerutkan keningnya sebentar lalu tertawa kemudian.
“Ini kutemukan di dalam kamarmu saat beres-beres sebelum kita pindah ke sini.”
“Hah?” kali ini si perempuan melotot dan bergerak cepat menghampiri Putra
“Berarti itu punyaku dong?” tanyanya dengan wajah polos
Putra menyeringai jahil. “Hm… Bagaimana ya?”
“Coba lihat! Jangan curi barang-barangku!”
“No way! Tadinya ini memang punyamu tapi sekarang sudah jadi milikku. Jadi jangan coba-coba meminta barang yang sudah kau berikan padaku!”
“Sepertinya aku tidak punya barang-barang yang sengaja kusiapkan untuk kuberikan padamu?” sanggahnya
Putra berpikir sebentar sebelum akhirnya mengeluarkan surat itu dari saku kemejanya.
“Lalu ini? Ini warisan untukku karena di dalamnya terdapat pengakuan cinta darimu 7 tahun yang lalu!”
Si wanita mencoba mengingat-ingat tentang surat 7 tahun yang lalu. Dan ingatannya terhenti saat Putra menyodorkan lipatan kertas itu. Membacanya sekilas lalu muncul rona merah di kedua pipinya dan cepat-cepat menutup lipatan itu.
“I-ini surat yang tidak jadi kukirimkan padamu!” jawabnya gugup
“Bukan apa-apa. Hanya iseng.” tambahnya
“Oh ya?” goda Putra
“Tapi berhubung aku sudah menemukannya, jadi boleh dong kalau aku menjawab pertanyaan-pertanyaanmu?”
“Terserahlah.” Si wanita tampak cuek dan kembali lagi pada kegiatannya di dapur
Putra duduk di salah satu bangku di dalam dapur dan mulai berbicara.
“Oke. Saat membaca surat ini umurku memang bukan belasan lagi tapi sudah 27 menjelang 28 tahun. Aku sudah menikah, baru saja. Dan sepertinya, si penulis surat juga sudah jadi seorang ibu rumah tangga. Ya kan, Lu?”
Orang yang diajak bicara hanya menjawab dengan satu deheman.
“Aku memang kuliah di salah satu universitas terkenal. Tapi kenapa kamu bisa tidak lulus ujian masuknya? Karena kamu bodoh!”
Lulu, si wanita yang sedang berkutat dengan masakannya langsung menoleh dan melemparkan sendok kecil tepat mengenai kepala Putra.
“Kamu tidak berubah juga ya, bahkan setelah kita menikah!” kata Putra sambil memungut si sendok malang
“Suruh siapa bilang kalau aku bodoh?”
“Lho, memang begitu kan? Kamu sendiri juga mengakuinya di surat ini.”
“Sudahlah. Aku sedang malas berdebat kali ini.”
Putra terkekeh pelan, merasa menang.
“Oh ya? Apa aku benar-benar candu bagimu?” godanya
“Maaf saja ya. Surat itu kutulis dalam keadaan tidak sadar.”
“Aku mengerti kalau maksudmu adalah saat kau sedang rindu-rindunya padaku.” dan terkekeh lagi
Lulu tak menyahuti omongan Putra. Dia tetap konsentrasi pada masakannya.
“Tapi, masa’ kamu tidak tau kapan kau mulai menyukaiku? Aku saja tau kok kalau aku mulai menyukaimu sejak pertam kali melihatmu. Untungnya kita bisa satu kelas dan jadi sahabat.”

Diam-diam Lulu merasa panas merambati wajah dan lehernya. Mendengar pengakuan Putra barusan membuat jantungnya mendadak berdetak lebih cepat. Padahal dia sudah membiasakan diri dengan kehadiran Putra di sampingnya setelah mereka menikah bulan lalu. Tapi tetap saja Lulu belum terbiasa melihat Putra yang tidur di sampingnya atau menemukan Putra yang duduk manis di meja makan, menunggu makanannya siap. Lulu terlalu kaget saat cinta pertamanya itu melamarnya beberapa bulan lalu beserta pengakuan dari Putra tentang perasaannya selama ini. Dan entahlah, Lulu tampaknya percaya-percaya saja dengan pengakuan Putra. Juga untungnya, Lulu masih menyimpan rasa cinta pada sahabatnya itu.

“Dan siapa yang sudah berani-beraninya menjadi obat penawar saat kita tak bertemu? Si anak keturunan Jepang itu?” ada nada kesal yang teramat sangat saat Putra melontarkan kalimatnya barusan. Cemburu mungkin?
Lulu menoleh. Wajahnya sudah merah padam menahan malu juga kesal terhadap orang yang kini ada di depannya.
“Jangan bawa-bawa dia!” omel Lulu
“Kenapa? Kamu masih suka padanya?” nada kesal itu semakin jelas terdengar dari alunan suara Putra
“Karena dia jauh lebih tampan dan tidak pernah membuatku kesal sepertimu!”
“Huh! Tampan apanya? Kalau dia tampan, seharusnya dia bisa mencuri hati perempuan yang jauh lebih cantik darimu!”
Kini Lulu melotot pada Putra yang sedang cengengesan.
“Dan kurasa kamu kena karma dengan menikahi gadis jelek seperti aku karena dulu kamu sering mempermainkan peerasaan perempuan!”
Raut wajah Putra dengan cepat berganti. Putra tersenyum lembut. “Menikahimu adalah sebuah anugerah terindah dalam hidupku. Bukan karma.”

Lulu merona lagi. Kali ini karena tersanjung atas kata-kata Putra. Dan sikap Putra yang suka berubah-ubah ini yang kadang membuatnya kesal. Bagaimana Putra bisa bersikap manis setelah mengejeknya barusan? Hh.. Lulu merasa kalau Putra itu aneh!

“Tapi rupanya aku sudah melanggar larangan si penulis surat untuk tidak memberitaukan surat itu pada istriku. Apa istriku cemas ya?”
Lulu tersenyum, luluh dengan sikap Putra lalu menyentuh pipi kiri Putra dengan jari telunjuknya. “Sepertinya tidak.”
Putra makin melebarkan senyumannya dan menarik Lulu ke dalam pelukannya. Tapi cepat-cepat Lulu melepasnya.
“Aku tidak mau masakanku tidak bisa dimakan hanya kerana tingkah lakumu itu!” omel Lulu, menjawab tatapan protes dari Putra
“Kenapa sih kita tidak bisa seromantis pasangan lainnya?” Putra memanyunkan bibirnya, tanda dia sedang merajuk
Lulu membalikkan tubuhnya dengan malas.
“Tapi sekarang bukan saat yang tepat untuk menunjukkan sisi romantismu! Kau harus bisa baca keadaan!” jawab Lulu sambil mengangkat masakannya yang sudah matang dari atas kompor
~~~

Dear Neichrehl Lucky Andreata,
Mungkin aku memang ditakdirkan bukan untuk menjadi laki-laki yang romantis. Sulit bagiku untuk mengucapkan kata-kata romantis atau melakukan hal-hal romantis. Kau boleh sebut aku tidak peka, bodoh, egois atau apalah sesukamu itu. Aku tak akan marah.

Tapi ada beberapa hal yang harus kau tau dariku. Aku ini pencemburu. Jadi jangan pernah katakan bahwa si anak keturunan Jepang itu lebih tampan dariku! Kau harus mengatakan kalau akulah yang paling tampan di antara pria-pria lain di dunia ini! Karena aku suamimu, oke? Aku juga tipe orang yang pemalu. Apa yang kukatakan kadang berbanding terbalik dengan apa yang kurasakan. Begitu pun kala aku sedang mengejekmu hingga kau marah. Itu kulakukan sejak dulu untuk mengatasi rasa maluku padamu karena aku menyukaimu. Hingga kau tak sadar bahwa diam-diam aku selalu memperhatikanmu. Dan ah ya, aku ini senang dimanja. Karena aku anak pertama dan tidak ada orang lain yang memanjakanku selain orangtuaku maka biarkanlah aku bermanja-manja padamu. Jangan marah, oke?

Dan kuharap kau mau mengerti aku untuk selamanya. Aku ingin menjalani hidup ini denganmu juga, aku ingin kau menjadi ibu yang baik bagi anak-anakku kelak. Aku ingin punya banyak anak. Rumah kita pasti tidak akan sesepi ini kalau kita memiliki banyak anak.
Dan tolong, jangan berhenti mencintaiku! Tetaplah hanya menatapku seorang. Tetaplah hanya akan mencintaiku seorang.

Hm.. sepertinya sudah malam. Tidurlah dan lihat di sampingmu! Aku sedang apa? Hahahaha

                                                                                     Suamimu yang tercinta,
                                                                                    Putra Ardianysah
                                                                                                                
                                                                                  
~

Lulu menggeleng-gelengkan kepalanya tapi tak urung terbersit senyum kecil dari sudut bibirnya. Lulu menolehkan kepalanya ke samping kiri seperti perintah Putra di suratnya. Mendapatai Putra yang sedang tersenyum cerah dengan bertelanjang dada. Lulu mengerutkan keningnya bingung.
“Cepat pakai bajumu kalau tidak mau masuk angin!” omel Lulu
“Oh.. Ayolah, sayang! Kamu pasti mengerti maksudku kan?” jawab Putra dengan wajah frustasi
Lulu tidak menjawab. Dan tiba-tiba ada bunyi ‘klik’. Seketika itu juga lampu kamar padam. Dan seseorang telah menarik tubuhnya hingga terjatuh di atas kasur kemudian menindih tubuhnya.
“Putra, tubuhmu berat! Menyingkirlah dariku!” protes Lulu
“Penuhi dulu permintaanku agar rumah ini tidak sepi lagi.” Jawab Putra dan kemudian tertawa



                                                
                                                                    ***


Hollaa temanss...
Akhirnya gue bisa nge-post cerita terakhir dari serial pernikahan. Cerpen ini sempet gue ikutin lomba Audisi Penulis Buku "Kisah Romantis" tahun 2012 lalu. Udah lama banget kan yaaa...
Tapi berhubung nggak menang, jadi boleh dong di post di blog pribadi? Kan cerpen ini hasil karya original gue. Nggak njiplak cerita mana-mana. Meskipun  mungkin ada yg ngalamin hal serupa, atau ada yg bikin cerpen dengan tema serupa, tapi beneran ini tulisan pribadi gue yg dulu lagi doyan-doyannya nulis. Hahaha...
Dan ini langsung copy paste dari file yg gue kirimin dulu itu, jadi harap maklum ya kalo berantakan. Soalnya males ngetik ulang. Hehehehe...

Tulisan ini gue persembahin buat kalian yg akhirnya nikah sama teman atau sahabat sendiri. So, enjoy it
^____^


Tidak ada komentar:

Posting Komentar