Minggu, 13 Januari 2019

The Series of Wedding Stories [Second Story, Second Imagination, Second Hope - MY WEDDING]

Ini cerita kedua di Wedding Series. Tentang seandainya aku yang lebih dulu menikah dari dia, orang yang paling kucintai itu....

Check this out~


Judul: My Wedding
By: Nurul Hikmah




                Bisa dibilang kalau hari ini aku yang jadi pemenangnya. Tapi rasanya tak mengapa bila justru akulah yang terkalahkan. Ini bukan tentang permainan ataupun pertandingan. Ini hanyalah sebuah penantian yangharus kuhentikan mulai hari ini dan seterusnya. Belajar untuk menatap masa depan dengan orang lain yang ada di hidupku sekarang ini.
                Rasanya cukup melelahkan dan menyesakkan berada di sini, hari ini. Dengan seorang lelaki bertuxedo putih tulang di gandenganku. Menatap dan menyalami puluhan bahkan ratusan orang yang hadir sejak siang tadi. Memasang senyum terbaikku sepanjang hari dan menampilkan wajah ‘baik-baik saja’ sementara hatiku masih ragu untuk melakukan kalau aku sudah benar-benar melupakan perasannku padanya dan mencintai orang yang ada di sebelahku ini lebih besar daripada rasa cintaku padanya. Aku memang mulai menyayangi laki-laki di sampingku ini. Tapi untuk mencintainya? Entahlah. Aku masih harus banyak belajar.

                Ya, hari ini adalah hari pernikahanku. Tentu saja bukan dengan orang yang telah mengisi hatiku selama bertahun-tahun ini. Bukan. Aku menikah dengan Leo, lelaki kekanakan meski usianya lebih tua 4 tahun dariku. Dia adalah anak teman bisnis orangtuaku. Tapi kami tidak dijodohkan. Aku bisa merasakan kasih sayang yang diberikan Leo padaku dengan tulus. Dan aku benci saat aku malah menyakiti hatinya dengan kenyataan bahwa aku masih menyimpan cinta untuk orang yang bahkan telah menolakku mentah-mentah. Bukan membalasnya dengan rasa cinta. Tapi inilah usaha terakhirku untuk membahagiakan Leo. Mengikat hidupku hanya untuk dirinya. Dan mulai belajar untuk mencintai Leo sekaligus menghapus rasa cintaku pada dia.
                Aku merasa menang. Karena akhirnya, akulah yang lebih dulu menikah daripada dia yang terus-terusan ganti-ganti kekasih. Aku bisa menunjukkan pada dia dan juga orang lain bahwa aku bisa menikah dengan orang lain tanpa harus menunggu hatinya meleleh dengan penantianku. Delapan tahun kurasa cukup untuk membuat hatinya luluh dengan kesetiaanku yang menunggunya agar bisa membalas cinta ini. Tapi nyatanya aku salah. Hatinya tak tersentuh sedikitpun. Dia tak akan pernah berpaling padaku. Dan untuk apa aku masih menunggunya sementara ada orang sebaik Leo yang mencintaiku dengan tulus? Aku merasa kalah karena tak mampu meluluhkan hatinya.
Jadi kuputuskan untuk menikah dengan Leo. Aku tidak ingin melihatnya terluka lebih dari ini. Aku akan sungguh-sungguh menyayanginya, menjaga kepercayaannya. Tapi ada satu hal yang membuatku heran padanya. Mengapa dia tak kunjung menikah? Padahal, banyak perempuan yang hadir di dalam hidupnya. Mereka cantik, pintar, terkenal, kaya, kurang apa lagi? Apa lagi yang dicarinya di dalam diri perempuan-perempuan sempurna itu?
“Lu,” suaranya terdengar pelan, bersamaan dengan sentuhan lembut yang kurasakan di punggungku.
Kudongakkan kepalaku untuk melihat Leo. Dia tersenyum
“Melamun?” tanyanya
Aku menggeleng pelan.
“Kau tampak lelah.” katanya lagi
“Tapi aku bahagia.” dan tersenyum sesudahnya
Ahh..satu kebohongan lagi yang kuucapkan padamu, Le.
Leo membalasnya dengan sapuan tangannya di atas kepalaku.
“Kau sangat cantik hari ini. “
“Terima kasih. Dan kau lebih tampan dari siapapun yang ada.” Balasku
Leo terkekeh pelan. “Karena kita memang raja dan ratu di pesta ini.”
Aku melirik ke samping dengan pemandangan Leo sedang tersenyum dengan sempurna. Dia tampak bahagia.

Di seberang sana, aku melihat seorang laki-laki berkemeja biru tengah melangkah lurus, meuju tempat dimana aku dan Leo berdiri. Tiba-tiba aku merasa ada tangan lain yang menggenggam tanganku yang bebas dari gandengan Leo. Aku menoleh.
“Rudy?” panggilku pada laki-laki berjas hitam di sebelah kananku
Rudy, saudara kembarku yang lahir beberapa menit sebelum aku hanya tersenyum dan menatap lurus ke depan. Sepertinya dia ingin menemaniku untuk menyambut tamu istimewaku. Aku mengangguk paham dan sedikit mengerling pada Leo yang masih tersenyum lebar. Senang dan sesak sekaligus yang kurasakan kala melihat raut wajakhya itu. Tanpa sadar, aku melepaskan gandenganku padanya dan mengusap lembut pipinya. Leo menoleh dan senyumnya makin lebar. Aku membalasnya dengan sentuhan di pipinya lagi.
Dan orang itu semakin mendekat ke arah kami. Sendiri. Kemana pasangannya?
Sementara tangan kananku mempererat genggaman Rudy untuk menguatkan diri dari serangan debaran jantung yang semakin berdetak lebih cepat. Aku menatap Rudy, meminta dukungan darinya. Rudy hanya mengangguk mantap. Akupun mengikuti arah pandangan Rudy. Menatap sesosok laki-laki di ujung sana yang hanya berjarak beberapa langkah dari tempat kami berdiri. Mengumbar senyum untuk orang yang paling kunanti kedatangannya.
Tatapan mata kami bersirobok dan dia tersenyum melalui bibir juga matanya. Kemudian menyambar tanganku dan menjabat erat.
“Selamat menempuh hidup baru ya, Lu! Ternyata kamu yang kebih dulu menikah.”
Putra, nama sahabat sekaligus orang yang kucintai itu berkata demikian.
“Terima kasih. Semoga kamu bisa menyusulku secepat mungkin.” Balasku, sedatar yang aku bisa
“Amin. Mudah-mudahan saja doamu cepat terkabul.”
Putra mengalihkan perhatiannya pada orang di sebelahku, Leo. Putra mengulurkan tangannya dan Leo, tentu saja menyambutnya dengan jabatan erat.
“Selamat ya. Semoga cepat dapat momongan.” Katanya dan melirik ke arahku
Leo tekekeh mendengarnya. “Amin. Terima kasih atas doanya dan juga terima kasih telah meluangkan waktu untuk menghadiri acara kami.”
Putra tertawa. “Pasti selalu ada waktu untuk sahabat-sahabatku ini!”

Ada sebuah getaran yang mengaliri dadaku saat Putra berkata seperti itu. Sahabat. Entah kenapa aku merasa senang dengan gelar itu. Meskipun aku sama sekali tak mampu untuk meluluhkan hatinya. Tapi dengan gelarku sebagai seorang sahabat, rasanya sudah cukup membahagiakan.
“Kamu datang sendirian?” tanyaku tiba-tiba teringat sesuatu
Putra tampak berpikir sebentar lalu menganggukkan kepala, mengiyakan.
“Aku sedang kosong, tidak punya pasangan yang bisa kuajak ke sini.”
hh..begitulah sahabatku itu. Selalu putus dan putus lagi. Hubungannya dengan perempuan tidak kuat bertahan lama. Entahlah.
“Kenapa tidak cari lagi?” kali ini Rudy yang bertanya
“Entahlah, Rud. Masih belum ada yang cocok di hatiku.”
“Huh, dasar playboy!” umpatku dan tertawa setelahnya
Putra cuma nyengir dan mengibaskan tangannya malas. Membawa Rudy menghampiri jejeran hidangan yang telah disediakan di sekitar ruangan. Aku menatapnya penuh rindu. Rindu akan masa lalu. Rindu akan kenangan-kenangan kami dulu. Aku rindu pada sosokku yang selalu menemaninya kala itu.

“Akhirnya, tamu yang paling kau nantikan datang juga!” Leo berbisik di telingaku tapi mengapa rasanya seperti tersambar petir?
Cepat-cepat aku menoleh untuk menatap Leo. “Darimana kamu tau?”
“Tidak penting darimana aku tau akan hal itu. Karena aku tau semua hal yang kau rahasiakan dariku, anak manis.”
Entah kenapa, aku merinding dan gemetar begitu melihat senyuman Leo. Lain dari biasanya. Aku takut.
“Tapi percayalah kalau aku benar-benar mencintaimu. Tidak peduli meskipun kau tidak mencintaiku seperti kau mencintai Putra.” Tatapan matanya mulai melembut, tidak seperti tadi. Dan ketakutanku mendadak lenyap tak berbekas.
Mata teduhnya masih memandangiku.
“Maafkan aku, Le. Tapi aku janji, aku akan belajar untuk mencintaimu sepenuh hatiku.”
“Tidak masalah. Meskipun kau tidak mau belajar sekalipun, aku yang akan membuatmu jatuh cinta padaku tanpa perlu belajar.” Leo terkekeh senang
“Tapi aku menyayangimu, Le.”
Tawanya terhenti, berganti menjadi senyum malu-malu dengan pipi yang merona merah.
“Sungguh?”
Aku mengangguk mantap. Dan dia balas memelukku.
“Apa dia juga mencintaimu?” tanya Leo di sela-sela pelukannya
Aku menggeleng. Sedikit berpikir bahwa suamiku ini polos atau memang agak sedikit bodoh? Kalau Putra mencintaiku, mungkin dia yang akan berada di sini bersamaku. Bukan Leo.
“Tidak pernah, Le. Sudah terlalu banyak waktu yang kusia-siakan untuk meluluhkan hatinya. Tapi dia tak pernah melihatku. Kami hanya sahabat, tidak lebih.”
“Kisah cintamu cukup menyedihkan.” komentarnya
Kulepaskan pelukannya dan dia menatapku, protes.
“dan jangan coba-coba untuk membuat kisah cintaku lebih mengenaskan dari yang selama ini aku alami!” candaku setengah mengancam
Leo tertawa, “Aku tak berniat untuk melakukan hal sekejam itu. Tapi kau masih mencintainya bukan?”
“Lupakan bagaimana perasaanku terhadapnya, Le! Dan buatlah aku melupakan semua cintaku padanya.”
“Sebagai gantinya, aku akan membuatmu berpaling padaku!”
Aku tersenyum. “Lakukanlah sesukamu, Le!”

                Pasrah. Ahh..tapi nampaknya bukan itu. Aku merasa lega karena mendapatkan seseorang seperti Leo. Aku merasa aku bisa mengikhlaskan Putra kalau Leo yang membantuku. Semoga saja aku bisa mencintai Leo seperti aku mencintai Putra dulu, bahkan mungkin lebih dari itu.
Kutatap Putra yang sedang tertawa bersama Rudy di seberang sana. Sudah saatnya aku berhenti hanya menatapmu seorang diri, Put. Sudah saatnya aku memperhatikan orang lain. Biarlah kamu menjauhiku. Biarlah kamu pergi. Tapi aku percaya pada akhirnya kau akan kembali lagi di dekatku, karena kita sahabat bukan?!

***

~ Janji ya, kalau kamu menikah nanti jangan lupa undang aku untuk datang ke pesta pernikahanmu! Aku mau lihat, perempuan hebat mana yang telah menaklukan sahabatku hingga berpikir untuk menikah..~


*FINISH*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar